di.s3@uin-alauddin.ac.id +62-411-841-879

Refleksi Hari Antikorupsi Sedunia

Setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Korupsi menjadi perkara umum yang dapat terjadi di seluruh dunia. Jurnalis terkenal Austria, Karl Kraus menyampaikan bahwa korupsi lebih buruk daripada pelacuran. Pelacuran merusak moral individu; korupsi merusak moral seluruh bangsa. Hal tersebut sangat cocok apabila kita melihat kondisi Indonesia saat ini. Korupsi memang kejahatan luar biasa yang dapat merusak sebuah bangsa secara perlahan namun pasti.

World Bank pernah melakukan jajak pendapat terhadap 40 negara yang penduduknya miskin dan menemukan bahwa korupsi telah mengakibatkan ketidakpuasan yang berujung pada kekecewaan masyarakat akibat adanya penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara. Jika dilihat dari kepentingan nasional, jelas sekali bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ibarat kanker yang akan mengancam proses pembangunan nasional.

Besar atau kecil, korupsi tetaplah korupsi. Maraknya kasus korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama dan berpotensi dilakukan oleh semua orang. Terminologi korupsi atau corruption berasal dari kata latin corruptio yang berarti busuk. Sedangkan dalam KBBI, korupsi bermakna penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Lahirnya hari antikorupsi internasional dimulai sejak Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaksanakan Konvesi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption – UNCAC) pada tanggal 31 Oktober 2003 di Meksiko. Melalui resolusi 58/4 majelis PBB menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Internasional (International Anti-Corruption Day) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan korupsi. Biasanya perayaan hari antikorupsi di Indonesia diperingati dengan berbagai kegiatan seperti talkshow, pameran inovasi, boardgame, dan pawai antikorupsi sebagai momentum untuk bulan perjuangan antikorupsi.

Dalam Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2018 berada di skor 38 dan berada pada peringkat ke-89 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini meningkat 1 poin dari tahun 2017 karena berbagai upaya positif yang telah dilakukan banyak pihak. Kerja-kerja dari sejumlah lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, dan Kejaksaan menjadi harapan bersama dalam mencegah serta mengurangi kasus korupsi di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan yang hangat beberapa bulan terakhir. Banyak sekali pemberitaan-pemberitaan yang terjadi di KPK. Terlepas dari permasalah capim KPK yang terpilih, pembahasan revisi UU KPK yang cacat secara prosedur, hingga kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang belum terungkap sampai saat ini. Ternyata tantangan memberantas korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia. Seluruh dunia juga merasakan segala gangguan yang serupa. Teror, penyerangan, hingga pelemahan lewat jalur hukum.

Lembaga antikorupsi di dunia memiliki kisah perjuangnnya masing-masing. Seperti yang terjadi di Maladewa, sejak Anti Corruption Commision (ACC) didirikan pada tahun 2008, ACC hanya mampu menyelesaikan satu kasus dalam rentang waktu empat tahun. Para aktivis antikorupsi di Maladewa menduga kegagalan ini terjadi karena adanya campur tangan pejabat pemerintah. Kisah lain juga dialami oleh lembaga antikorupsi di Afghanistan, Anti Corruption Criminal Justice Afghanistan (ACJC) yang dibentuk tahun 2016. Setelah setahun menjalankan tugasnya memberantas korupsi, dua pejabat ACJC dibunuh pada 10 April 2017. Lain halnya di Italia, para mafia di Italia memainkan peran kunci dalam korupsi publik dan swasta. Jaringan korupsi di Italia melibatkan politik, bisnis, dan mafia sebagai “an unholy triangle”. Berbagai upaya yang dilakukan setiap lembaga antikorupsi di dunia belum mebuat koruptor jera, malah mencari celah dengan melemahkan lembaga-lembaga tersebut.

Lembaga antikorupsi memang tidak bisa berdiri sendirian. Memberantas korupsi menjadi tanggung jawab bersama, dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan. Apa pun yang terjadi, semangat pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti, perlawanan akan terus diupayakan.

Setidaknya Hari Antikorupsi ini menjadi momentum bersama untuk meningkatkan semangat perlawanan terhadap korupsi. Seperti kata Nelson Mandela, segala sesuatu akan selalu tampak tidak mungkin sampai hal tersebut selesai. Hal ini mengajarkan kita bahwa Indonesia bisa terbebas dari korupsi jika semua pihak saling bersinergi dan menjaga optimisme dalam memberantas korupsi hingga Indonesia benar-benar bersih dari korupsi. Semoga!

***

Penulis: Reski Indah Sari

(Mahasiswi Pascasarjana UIN Alauddin & Penyuluh Antikorupsi LSP-KPK)

(Tulisan ini telah terbit pada kolom Opini Tribun Timur)